Setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad tiba, kaum Muslimin bergembira.Masing-masing daerah merayakannya dengan ragam cara, namun tetap satu tujuan. Seperti kemeriahan perayaan Maulid di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin.



Perayaan Maulid di Banua Halat memang tidak biasa. Karena selain pembacaan syair-syair Maulid, disertai dengan prosesi dan ritual budaya Ba ayun Anak, yang karena pelaksanaannya bertepatan dengan perayaan Maulid maka disebut juga Ba ayun Maulid.

Tempat pelaksanaannya tidak sembarangan. Bertempat di Mesjid Al Mukarramah atau biasa disebut Mesjid Keramat, membuat ritual ini menjadi luar biasa. Dengan maksud agar anak senantiasa sehat, cerdas, berbakti kepada orang tua dan taat beragama, sangat kontras dengan tempatnya yang dikeramatkan. Menjadikan ritual ini bukan sekedar ramai, tapi juga sakral dan suci.



Simbol-simbol seperti adanya piduduk (sesajen), janur, wadai 41 (kue tradisional yang terdiri dari 41 macam atau jenis), parapin (dapur kecil tempat membakar dupa atau kemenyan), panginangan, banyu putih dalam galas dan minyak likat baburih yang tetap disertakan pada prosesi budaya Ba-ayun Anak. Sama persis dengan yang ada pada prosesi adat Aruh Ganal di masyarakat Dayak Meratus.


Sebelumnya, pada budaya pra-Islam di tanah Banjar telah berkembang budaya yang serupa dengan ba ayun anak. Dimana pada masyarakat dulu di kenal adanya prosesi ba ayun wayang, ba- ayun topeng dan ba ayun madihin. Pada prosesi ba ayun wayang dan ba ayun topeng, ritual didahului dengan pertunjukan wayang dan topeng. Sedang pada ba ayun madihin, prosesi diikuti dengan melantunkan syair Madihin.



Seiring dengan transpormasi budaya yang terjadi dan perkembangan zaman, membuat budaya tersebut di rasa tidak lagi mempunyai pengaruh atau efek bila tidak dilakukan. Serupa dengan tradisi ma ayun anak dengan bapukung (menidurkan anak dalam posisi didudukkan dalam ayunan, red) yang kini banyak ditinggalkan. Namun pada masyarakat di Hulu Sungai, masih dapat ditemui tradisi ini.



… guring, anakku guring

Anakku pintar, dalam ayunan

Matanya kalat, nang handak guring…



Alunan syair tembang seperti di atas biasanya dilantunkan saat mangguringakan (menidurkan) anak sambil bapukung dalam ayunan. Namun pada perkembangannya, syair-syair tradisional seperti itu sudah tergantikan dengan syair dan alunan shalawat. Seperti itu jugalah yang terjadi pada proses pembentukan budaya ba ayun anak atau ba ayun maulid di Banua Halat.

Kekeramatan masjid Banua Halat diantaranya erat kaitannya dengan kepercayaan berupa mitos yang berkembang khususnya di kalangan orang Dayak Meratus di pegunungan Meratus daerah Tapin yang menyatakan bahwa orang Dayak Meratus dan orang Banjar Hulu sesungguhnya “badangsanak” (mempunyai ikatan darah; genealogis) karena berasal dari keturunan dua bersaudara kandung: Intingan dan Dayuhan yang berasal dari Banua Halat.

Keyakinan adanya “hubungan genealogis” itu dapat ditelusuri dari adanya Mitos Intingan dan Dayuhan berhubungan yang dengan pembangunan Masjid Banua Halat. Orang Dayak Meratus mempercayai bahwa Masjid Banua Halat dahulunya dibangun oleh Intingan, yakni saudara kandung Dayuhan; nenek moyang mereka.




Perhatikan tahapan prosesi ba ayun anak ini. Ayunan di buat tiga lapis, dengan kain sarigading (sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga.




Tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, hiasan dari wadai 41 seperti cucur, cincin, pisang, nyiur dan lain-lain. Orang tua yang melaksanakan ba ayun diharuskan menyiapkan piduduk berupa beras, gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung), banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh).



Ritual dimulai dengan membaca syair Maulid Al Habsy, Maulid Ad Diba’i atau Maulid Al Barzanji. Dilanjutkan dengan pembacaan Manakib Wali Allah, ceramah agama dan di tutup dengan do’a. Kemudian para Habib, Ulama dan umara menapung tawari (memberkati) peserta ba ayun anak dengan diiringi pembacaan Sholawat Badar.



Semua posesi itu menandakan betapa budaya dasar yang di anut dalam prosesi ba ayun anak masih terjaga. Sehingga, ikatan budaya secara emosional antara urang Banjar dan Dayak, senantiasa terjalin harmonis, meski dengan baju yang berbeda.

Ritual ba ayun anak menjadi sebuah prosesi yang sangat unik. Manakala peserta yang ikut bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa bahkan yang berusia lanjut.



Tujuan orang dewasa ikut ba ayun itu beragam. Ada yang sekedar ikut-ikutan dan ada pula karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah serta sebagai ucapan syukur setelah hajatnya terkabul.

Pada Maret 2008, Baayun Anak masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak se-Indonesia. Jumlah peserta pada waktu itu sebanyak 1.544 orang, terdiri dari 1.643 anak-anak dan 401 orang dewasa. Peserta tertua Hj Masriah (75) dari Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan termuda seorang bayi yang baru berumur 4 hari.

Pada Tahun 2011, baayun maulid diikuti peserta seluruhnya sebanyak 3.741 orang yang terdiri dari 1.714 anak-anak dan 2.027 dewasa.

Seorang wanita berusia 100 tahun juga menjadi peserta beliau bernama Rabiah, warga Desa Linuh, Kecamatan Bungur, Tapin, yang bernadzar akan ikut Baayun Maulid bila diberi Allah umur yang panjang hingga 100 tahun, Peserta termuda dalam ritual ini adalah bayi berusia 40 hari, Ardian, warga Desa Banua Halat Kiri.

Tujuan mengikuti ritual Baayun Maulid beragam, dari menunaikan nazar, bernazar, sebagai wujud syukur karena sembuh dari sakit maupun sekadar ikut meramaikan saja. Sedangkan tujuan sebenarnya dari ritual tersebut adalah agar yang ikut Baayun Maulid senantiasa berkecukupan secara ekonomi, kuat ingatan dalam mempelajari ilmu agama, dilimpahkan kebahagiaan dan memiliki keteguhan iman.

Para peserta bukan hanya penduduk Desa Banua Halat atau warga Kota Rantau, tetapi datang dari seluruh Kalimantan. Berdasarkan data pendaftaran dari panitia pelaksana, tercatat peserta dari pulau Jawa dan Sumatra. Bahkan ada peserta yang berasal dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Menariknya, dari daftar peserta itu terdapat pula orang Dayak yang nota bene masih menganut agama kepercayaan Kaharingan.

Melalui ritual itu, akan terasa sebuah kesadaran yang kadang berada di bawah sadar, dan jalinan tertentu bahwa mereka memiliki ikatan kultural. Hubungan emosional masa lalu yang masih dipertahankan, menimbulkan kesadaran budaya yang sama.

Secara keseluruhan, tradisi yang dilakukan secara massal ini merupakan pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Di samping kiri mimbar masjid ini terdapat sebuah tiang yang dikeramatkan. Tiang Guru dari kayu ulin ini setinggi lebih dari empat meter..Keunikan dari batang ulin hitam ini mengeluarkan minyak sehingga terus terlihat mengkilap. Riwayat Tiang Guru ini dibawa oleh Teungku Muhammad Thohir Al Kahdi atau datu Ujung sejak 1862. Bagian yang terlihat berminyak ini dibiarkan tanpa cat. Tidak sedikit warga yang datang menggosok2an lembaran uang kertas pada tiang ini dengan harapan uang tersebut dapat membawa berkah.


http://www.kaskus.co.id/show_post/5316b78220cb17ae048b4640/392/baayun-maulid-di-desa-banua-halat-kabupaten-tapin